Penyebaran budaya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan
evolutif. Islam berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak awal
Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas berlangsung di pesisir
pantai, khususnya melalui aktivitas perdagangan antara penduduk lokal
dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat (India). Kontak-kontak
ini memungkinkan proses asimilasi, sinkretisasi, dan akulturisasi
budaya. Islam kemudian muncul sebagai competing culture India.
M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan dua proses
masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak
dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing
(Arab, India, Cina) pemeluk Islam menetap di suatu wilayah Indonesia,
kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian
rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku
lainnya, lalu mendifusikan Islam.[1]
Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono
Widyosiswoyo.[2] Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur
yaitu: Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga jalur
didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki
Indonesia. Jalur Utara adalah masuknya Islam dari Persia dan
Mesopotamia. Dari sana, Islam bergerak ke timur lewat jalur darat
Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut menuju
Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya
yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat
pengalaman personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah
yang paling cepat mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam
nusantara. Aceh adalah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara
ini.
Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai
Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam
menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi.
Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera Barat. Jalur ini terjadi sebab
jika bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut orang-orang
Islam langsung sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan
kaum agama dalam Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat
jalur ini.
Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan
pusat penyiaran agama Islam modern dan Indonesia memperoleh pengaruhnya
dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini
terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah.
Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah nisan Sultan
Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di
pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya
kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah
Sumatera bagian Utara ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah
Syafi’i.[3]
Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara ditandai berdirinya
sejumlah kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku)
penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460.[4] Di Demak,
penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota
pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada
tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa
Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605
penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa (Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611
semenanjung Sulawesi Selatan telah dikuasai penguasa Islam.
Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara Islam yang
sudah terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang baru masuk
dari wilayah Timur Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai
dirundung konflik penafsiran dan ini terutama semakin mengemuka di saat
berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham
keislamannya pada awal abad ke-19. Tulisan ini tidak akan menyentuh
bagaimana konflik yang berlangsung antara aneka tipologi Islam. Tulisan
hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang dibawa Islam ke dalam
budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.
1. Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13
Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat,
Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali,
ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan
Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam
aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni[5] dan
tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling
kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu
dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari
Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan kontak
dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari
kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di
wilayah yang berdekatan dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun
seterusnya – mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan.[6] Banyak
di antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum
pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka.
Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala
tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia
harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses
pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat
kalangan pribumi semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut
agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan
(sekadar transit atau menetap), membuat mereka berkembang biak di
sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam
baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara
selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar,
Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo,
Hitu, ataupun Deli.
Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak
dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam
pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat
pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang
tuanya yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak
kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan perkembangan Islam.
Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua mereka memungkinkan
Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik lokal
(palace circle). Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik,
penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat
prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan para sultan atau
para adipatinya.
Tasawuf. Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik
perhatian kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan
cultural shock signifikan, membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf
cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam dengan budaya India
ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh
tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali
Sanga (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam
metode penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang
diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang
Jawa-Hindu, çiwa, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu
yang sama sekali asing bagi kalangan pribumi.
Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis
pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera
Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut
ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran
Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam
dalam kurikulumnya. Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat
pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan
kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh agama atau
mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang
didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan
penduduk Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri.
Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang
diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi
upah cengkih.
Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam
penyebaran Islam. Orang Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal
sebagai seniman-seniman jenius yang punya kemashuran tinggi. Lewat seni,
Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat pribumi, termasuk
para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara
dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang
menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum
termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan
India yang diberi muatan Islam.
Egalitarianisme. Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci.
Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial
berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia
sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana,
Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan
sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal
pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal
stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia (terutama
dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama baru ini.
2. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya.
Menyusul konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa
Melayu. Melayu lalu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak
digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal
Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam
struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata
bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab.[7] Selain itu, terjadi
modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini
kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.
Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara,
terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi
terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah
mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam
disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam
sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari
(syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis
peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma
mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang
sudah banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan yang digunakan
tetap 12, sama dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan
nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura
dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul
Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil Akhir), Rejeb
(Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela
(Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap
mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka
paling banyak digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu
saja tanpa menciptakan perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat
(revolusi sosial).
Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam kosakata. Sama
dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari bahasa
Indonesia, kosakata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa
Indonesia, yang sedikit contohnya sebagai berikut:
Kosakata Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab
Arab
|
Indonesia
|
|
Arab
|
Indonesia
|
isnain
|
Senin (dua)
|
|
`ajā'ib
|
Ajaib
|
tsalasa
|
Selasa (tiga)
|
|
`aib
|
Aib (malu)
|
arbain
|
Rabu (empat)
|
|
Ahl
|
Ahli
|
kamis
|
Khamis (lima)
|
|
`ādil
|
Adil
|
jumu’ah
|
Jumat (ramai)
|
|
`abd
|
Abdi
|
badan
|
Tubuh
|
|
abadī
|
Abadi
|
yatim
|
Yatim
|
|
Abad
|
Abad
|
wujud
|
Wujud (rupa)
|
|
dahsha
|
Dahsyat
|
usquf
|
Pemimpin gereja
|
|
dalīl
|
Dalil (bukti)
|
umr
|
Umur
|
|
ghaira
|
Gairah (hasrat)
|
daraja
|
Derajat
|
|
wajh
|
Wajah
|
darura
|
Darurat
|
|
wājib
|
Wajib
|
awwal
|
Awal
|
|
walīy
|
Wali
|
atlas
|
Atlas
|
|
waṣīya
|
Wasiat
|
asli
|
Asli
|
|
wilāya
|
Wilayah
|
‘amal
|
Amal
|
|
yaqīn
|
Yakin
|
ala
|
Alat
|
|
ya`nī
|
Yakni
|
alama
|
Alamat
|
|
Nashichah
|
Nasehat/nasihat
|
alami
|
Alami
|
|
Ijazah
|
Ijazah/ijasah
|
Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di
Indonesia, di mana masyarakat nusantara lebih familiar membaca huruf
Arab ketimbang Latin. Bahkan, di masa kolonial Belanda, mata uang
ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun Arab Jawi. Tulisan
Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu nisan.
3. Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan
Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah
pesantren. Asal katanya pesantren kemungkinan shastri (dari bahasa
Sanskerta) yang berarti orang-orang yang tahu kitab suci agama Hindu.
Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang berarti orang yang mengikuti
kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah berkembang sebelum
Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran
agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan
pesantren diambilalih Islam.
Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan
Islam. Siswa tinggal bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah
bimbingan guru yang disebut Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks
pesantren di mana kyai berdomisili. Dengan kata lain, pesantren dapat
diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu: pondok, masjid, santri,
kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning).[8] Seputar peran signifikan
pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia
adalah sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap
kehidupan keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.[9] Melalui
pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya lokal
yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horisontal
signifikan.
4. Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur dan Kesenian
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal yang dibangun
pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang
di Timur Tengah. Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak
bangunan. Kubah digantikan semacam meru, susunan limas tiga atau lima
tingkat, serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid Banten memiliki meru
lima tingkat, sementara masjid Kudus dan Demak tiga tingkat. Namun,
bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar sama dengan budaya
induknya.[10]
Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun di Indonesia.
Menara dimaksudkan sebagai tempat mengumandakan adzan, seruan penanda
shalat. Peran menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda
masuknya waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah
adzan dilakukan. Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid
Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip bangunan
candi Hindu. Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara,
bangunan-bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan
bentuk lokalnya, terutama meru dan limas bertingkat tiga.
Pusara. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca
meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak
lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi
tubuh dikebumikan ini ditandai pula batu nisan. Nisan merupakan bentuk
penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia bukan sekadar batu,
melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang yang dikebumikan.
Seni Ukir. Ajaran Islam melarang kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni.
Larangan dipegang para penyebar Islam dan orang-orang Islam Indonesia.
Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi serta
ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang,
pemandangan, serta garis-garis geometris. Termasuk ke dalamnya pembuatan
kaligrafi huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di Masjid Mantingan
dekat Jepara, daerah Indonesia yang terkenal karena seni ukirnya.
Seni Sastra. Seperti India, Islam pun memberi pengaruh terhadap sastra
nusantara. Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di sekitar Selat
Malaka dan Jawa. Di sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru,
sementara di Jawa merupakan kembangan sastra Hindu-Buddha. Sastrawan
Islam melakukan gubahan baru atas Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra.
Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Perang Pandawa
Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayat Panjatanderan.
Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam semisal
Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang
Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang
membentangkan persoalan tasawuf). Suluk gubahan Fansuri misalnya Sya’ir
Perahu, Sya’ir Si Burung Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.