Ketika mempersiapkan artikel ‘Islam sebagai Budaya’
saya sempatkan mengunjungi Jogja. Selain memotret kompleks Kampung
Kauman, seorang teman antropolog juga menyarankan sambangi Masjid Patok
Negoro. Bahkan teman tersebut bersedia ngojeki saya menuju empat
masjid sambil mengambil gambar.
Walau menjadi agama mayoritas, Islam di
Indonesia lebih berkembang sebagai budaya ketimbang agama pada awalnya.
Di Jawa yang penganut Islamnya terbanyak misalnya, ternyata ditemukan
begitu banyak akulturasi budaya dengan Islam. Saya sengaja datang ke
Jogja, karena di masa lalu Mataram menjadi sentra Islam agraris,
menggeser peran Gresik atau Tuban dengan Islam pesisirnya.
Pergeseran Islam pesisir yang bersifat
syari’at ke Islam agraris yang lebih makrifat digambarkan dengan baik
oleh Elisabeth Inandiak dalam bukunya ‘Centhini, Kisah yang
Tersembunyi’. Dalam buku tersebut dilukiskan penyerbuan Mataram yang
dipimpin Pangeran Surabaya ke Gresik. Sultan Agung kala itu hendak
menaklukkan Gresik, guna mengakhiri kekuasaan para wali, dan meneguhkan
kekuasaannya di Jawa, sekaligus menobatkan dirinya tak hanya sebagai
raja penguasa bumi, namun juga sebagai ‘sayyidina panatagama, penguasa
dan pengatur agama.
Untuk meneguhkan kekuasaannya inilah,
Mataram di bawah pemerintahan Hamengku Buwono I membangun Masjid patok
Negoro. Masjid ini didirikan di atas tanah perdikan bebas pajak,
pemberian raja.
Ada lima masjid yang dibangun searah mata angin, yaitu
1.Masjid Nurul Huda Dongkelan, Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul
2.Masjid Ad Darojat Babadan, di Gedungkuning, Banguntapan, Bantul
3.Masjid Taqwa Wonokromo, Plered, Bantul
4.Masjid Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman
5.Masjid Sulthoni, Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman
Fungsi kelima masjid di atas adalah
sebagai benteng pertahanan menghadapi musuh, juga tempat penggalangan
massa, sekaligus untuk menyebarkan agama Islam.
Untuk memimpin masjid di atas, sultan
menunjuk anggota penghulu pada peradilan serambi. Pathok negoro adalah
jabatan pemerintahan di lingkungan keraton. Kini, masjid di atas
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat setempat.
Ketika berkeliling, saya tanya teman antropolog itu pasal ma’rifat-nya
Mataram dan Sultan Agung. “Lho, konon kabarnya Sultan Agung itu murid
Syech Siti Jenar. Kalau Jumatan, beliau selalu di Makkah.” Aih, apa iya
ya.
Di Balik Kisah
Kami membelah kota gudeg kala sengatan
mentari tepat di tengah cakrawala. Masjid pertama yang kami tuju adalah
Masjid Ad Darojad Babadan. Masjid ini dibangun pada 1774 oleh HB I,
namun sempat dihancurkan pada masa penjajahan Jepang pada 1942, guna
perluasan lapangan terbang dan gudang senjata. Masjid kembali dibangun
tahun 1964.
Masjid ini agak unik, karena letaknya di
tengah sawah. Kalau tak membaca spanduk berisi pengumuman Shalat Ied
Adha, tak tahu saya bahwa itu masjid. Dari luar hanya nampak pagar,
dengan halaman menghadap sawah. Bentuknya mirip rumah limasan Jawa.
Lain lagi dengan Masjid Nurul Huda di
Dongkelan, Kauman. Bangunannya nampak baru dari luar. Namun begitu masuk
ke dalam, mimbarnya benar sangat kuno. Di belakang masjid ada makam
keluarga keraton dan pengurus masjid. Kubah masjib berbentuk tajun
bertripang dua nampak unik.
Masjid berumur sekitar 230 tahun ini
pernah dibakar Belanda karena dianggap tempat berkumpulnya para
pemberontak. Hal itu terjadi tatkala meletusnya Perang Diponegoro pada
1825-1830 M.
Makam keluarga keraton juga menghiasi
Masjid Mlangi di Nogotirto, Gamping. Untuk masuk ke sana, ada juru kunci
yang juga abdi dalem keraton Jogja.
Saya menikmati lampu-lampu tegak kuno
yang banyak menghiasi bangunan tingkat dua masjid ini. Unik. Walau
bangunannya banyak dipugar dan menjadi ‘nampak modern’, namun
undak-undakan menuruni masjid masih sama. Sayang, kolam tempat mengambil
air wudlu yang dulu berada di sekeliling masjid sudah hilang. “Boros
air, membuat sawah di sekitarnya kering,” kata penduduk.
Tradisi ‘Jenang Manggul’ yaitu
upacara yang diiringi pembuatan bubur dalam jumlah besar, masih
dipertahankan di masjid ini. Konon tradisi ini diwariskan dari HB I,
saat memberikan tanah perdikan Mlangi kepada Kyai Nur Iman untuk
mendirikan pesantren. HB I berharap pak kiai selalu ingat tugasnya
menyebarkan agama seperti titah sang ayah.
Masjid Taqwa Wonokromo juga berada masuk
ke kawasan pemukiman. Di antara rumah penduduk, kebun, dan sawah. Masjid
ini bersebelahan dengan tempuran antara Sungai Opak dan Oya. Di
belakang masjid ada makam luas, tempat keluarga keraton serta pengurus
masjid, juga para pahlawan.
Entah mengapa, di antara masjid patok
negara, masjid Wonokromo nampak khas dan magis di mata saya. Khas
jawanya, agung hijaunya, dan menenangkan. Saya banyak mengambil gambar
tatkala mengelilingi masjid ini.
Keesokan harinya, kawan yang lain
mengantar saya menuju Masjid Sulthoni Plosokuning. Ini satu-satunya
masjid yang menjadi cagar budaya dan paling terjaga kelestariannya.
Masjid ini dibangun paska pembangunan Masjid Agung Keraton, sehingga
memiliki bentuk yang ‘mirip’.
Mengamati sekitar masjid banyak terdapat
kampung santri, madrasah, maupun pesantren. Maka daerah ini disebut
sebagai daerah mutihan atau tempat tinggal orang-orang putih alias
santri.
Ada juga yang menyebutnya sebagai daerah
Plosokuning jero yang artinya tempat tinggal orang-orang yang memiliki
ikatan darah dengan pendiri masjid. Sementara orang biasa tinggal di
Plosokuning jobo.
Berkeliling Masjid Patok Negoro sekaligus
mengamati arsitekturnya, semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa di
Jawa, Islam tumbuh sebagai budaya. Bukan semata-mata agama.
0 comments:
Post a Comment
Thaks Pal